Desa Teluk Meranti, Kabupaten Pelalawan mungkin satu-satunya desa di
Riau yang terkenal secara internasional dalam waktu yang sangat singkat
karena dua hal yang berbeda.
Pertama tahun 2009, Teluk Meranti terkenal ketika Greenpeace
membangun kamp perlindungan hutan dan mengundang sejumlah wartawan di
jantung hutan gambut dataran rendah Sumatra, persis di seberang Sungai
Kampar. Kala itu puluhan aktivis Indonesia dan asing melakukan aksi
tanpa kekerasan dengan menghentikan eskavator dan mesin penghancur hutan
milik PT RAPP. Aktifitas perusahaan juga dinilai mengancam empat
kawasan lindung, yakni Suaka Margasatwa Danau Pulau Besar, Tasik Belat,
Tasik Metas dan Tasik Serkap serta kubah gambut yang dalamnya mencapai
20 meter.
Dan yang kedua, nama Teluk Meranti terangkat ke manca negara oleh
para peselancar domestik dan internasional yang berulang kali
berselancar di atas gelombang Bono Sungai Kampar.
Teluk Meranti adalah ibukota Kecamatan Teluk Meranti yang memiliki 8
desa lainnya yang berada di sepanjang Sungai Kampar. Mata pencaharian
utama warga tergantung pada kelestarian hutan gambut Semenanjung
Kampar. Di samping kelestarian Semenanjung Kampar dalam menyediakan
kebutuhan dan sumber ekonomi masyarakat, ekosistem gambutnya mengandung
berjuta metrik ton karbon yang diyakini mampu membantu menahan laju
perubahan iklim global.
Namun pemerintah mengambil alih akses dan kepemilikan masyarakat
dengan memberikan izin kepada puluhan perusahaan sawit, perusahaan bubur
kertas dan kayu.
ombak Bono yang digadang-gadangkan sejumlah peselancar sebagai
fenomona alam Indonesia yang indah sekaligus menantang ini, sesungguhnya
menyimpan mitos yang sebaliknya “angker” dan “mematikan”.
“Ada kepercayaan tetua kami bahwa dulunya gelombang Bono itu jelmaan
ular jantan berkepala tujuh. Satu kepala ular itu mati karena ditembak
Belanda. Tinggal enam. Inilah sekarang ada enam gelombang. Sementara
ular betina ada di sungai Rokan,” tokoh masyarakat Teluk Meranti,
Muhammad Yusuf (58).
Menurutnya, kedatangan Bono – yang dalam bahasa Indonesia berarti
benar ini – diawali dengan suara gemuruh yang dahsyat dari kejauhan. Ia
mengibaratkan jika terdengar suara gemuruh, lalu mulai menanak nasi,
maka ketika nasi itu masak, barulah ombak Bono sampai di depan rumah.
Namun kini, Bono tak seseram dulu. Bahkan pemerintah setempat telah
menetapkan Bono sebagai objek wisata andalan yang menjanjikan untuk
dijual secara internasional.
Bono adalah fenomena alam yang terbentuk dari gelombang yang
dihasilkan akibat kenaikan permukaan air laut China Selatan dan laut
Malaka yang masuk melawan arus ke aliran Sungai Kampar. Ketinggian
ombak Bono bisa mencapai puncaknya 4 meter pada saat bulan purnama atau di
awal bulan. Saat bagian terdepan arus menerobos masuk ke Sungai Kampar
yang menyempit dan dangkal maka saat itulah tercipta enam atau lebih
ombak.
Dari catatan pemerintah, panjang Sungai Kampar sekitar 450 km
melewati lebih dari 47 desa di tiga kabupaten di Provinsi Riau dan
berhulu di provinsi tetangga Sumatra Barat. Lebar sungai antara 200
meter hingga 2 kilometer di bagian muara.
Sejak 2010, peselancar profesional domestik dan internasional
berulang kali mencoba “menjinakkan” gelombang Bono yang pergerakan
ombaknya bisa bertahan hingga dua jam lamanya atau sepanjang 50-60 km ke
bagian hulu sungai.
Di tahun 2011, sekelompok peselancar membuat dokumentasi video
perjalanan mereka yang berjudul “Seven Ghosts The Bono”. Terakhir 2012,
perusahaan rokok Indonesia merilis video komersil berselancar Bono “My
Great Adventure Indonesia Continues”.
Bahkan rencananya, pada tanggal 9 – 14 Februari ini, Steve King,
peselancar peraih rekor dunia versi Guinness World Records akan
memecahkan rekor berselancar terpanjang dan terlama di atas gelombang
Bono.
“2006 lalu Steven telah mencatatkan namanya dalam rekor dunia
(berselancar di gelombang sungai) di Inggris dengan jarak tempuh 12,23
kilometer, waktu tempuh 1 jam 6 menit,” ujar Hisam Setiawan dari River
Defender, organisasi lokal yang memandu kegiatan selancar Bono.
Fakta singkat desa dan akses jalan
Ternyata kecepatan ketenaran gelombang Bono di Teluk Meranti,
Kabupaten Pelalawan, Riau tak secepat persiapan masyarakatnya. “Saya
belum tahu kalau ada rencana pemecahan rekor dunia di sini. Anda dapat
info dari mana?,” tanya pak Lurah Teluk Meranti, Hasan (80) kepada
Mongabay di rumahnya.
Meski sudah beberapa kali dikunjungi wisatan asing, sampai wakil
menteri pariwisata juga pernah datang menyaksikan Bono, namun kondisi
Teluk Meranti tetap seperti dulu. Jalanan desa yang rusak dan becek.
Jalan akses dari kota terdekat Pangkalan Kerinci masih banyak rusak di
sana-sini. Jika hujan dan lagi apes, Anda bisa terjebak di dalam lumpur
berjam-jam. Maklum, jalan lintas tersebut juga dilalui kendaraan
bermuatan sawit dan kayu akasia yang menambah kehancuran jalan.
“Saya pernah berangkat ke Pekanbaru sore, besok paginya baru sampai,”
kata Ali, seorang warga. Padahal jarak tempuh normal hanya 4 jam. Jika
musim hujan, lebih baik menggunakan speedboat yang tersedia setiap pagi
sebelum jam 10 di bawah jembatan Pangkalan Kerinci.
Desa yang dibangun pertama kali tahun 1918 ini, setidaknya hanya
memiliki dua penginapan kecil. Sumber air di penginapan itu berasal dari
air Sungai Kampar yang disuling namun tetap berwarna keruh gambut.
Tarifnya sangat terjangkau antara 60-100 ribu per malam.
“Wakil mentri pariwisata sudah datang ke sini. Katanya akan dibangun.
Kalau pemerintah kabupaten atau provinsi tak bisa, nanti bisa dibantu
pemerintah pusat. Saya sudah mengajukan kepada pemerintah daerah dan
telah dilanjutkan ke pemerintah pusat. Katanya secepatnya. Tapi sampai
hari ini belum juga,” kata Lurah Hasan.
Menurut Hasan, siap atau tidak, desanya tetap akan didatangi
wisatawan. Sumberdaya manusia yang tidak ada menyebabkan mereka tidak
bisa memanfaatkan potensi keterkenalan desanya itu. “Kalau SDM tak ada,
susah kita memberikan arahan. SDM kurang karena pendidikan jauh dari
kabupaten,” lanjutnya.
Bagi sebagian masyarakat percaya bahwa baik Bono maupun hamparan
hutan gambut Semenanjung Kampar sangatlah penting dan saling terkait.
Kelestarian hutan mungkin akan mampu mempertahankan bibir sungai dari
erosi dan degradasi. Sebaliknya jika hutan hancur dan gambut rusak maka
dengan sendirinya erosi di bibir sungai semakin cepat terjadi dan
gelombang bono yang membesar di perairan sempit akan menjadi mengecil
karena sungai melebar.